Read with BonusRead with Bonus

Bab 3

“Ngapain, mau cari ribut atau gimana nih!” Begitu telepon tersambung, aku langsung ngomel dengan marah.

“Aku nggak mau banyak omong, kalau kamu laki-laki, keluar sini, ada masalah apa, kita selesaikan langsung!” jawab Jaja dengan tegas.

“Oke, keluar ya keluar, aku takut apa sih, bilang aja di mana!”

“Di depan kafe DeMei di Jalan Timur, aku tunggu!”

Setelah bilang itu, Jaja langsung menutup telepon. Aku juga marah banget, langsung pakai baju dan siap berangkat.

Tapi tiba-tiba kepikiran, gimana kalau Jaja bawa temen-temennya?

Pikiranku langsung ke situ, aku ambil pipa besi yang ada di bawah tempat tidur, sembunyiin di lengan baju, lalu berangkat.

Jarak ke kafe DeMei kurang dari seratus meter, aku sudah lihat Jaja berdiri di depan pintu.

Dia pakai gaun, kelihatan polos banget, tapi dalam hati aku malah muak, udah beli rokok, masih sok polos, perempuan yang ngerokok tuh nggak ada yang bener!

Aku jalan langsung ke arahnya, Jaja juga cepat sadar dan terus menatapku. Aku lihat di sekitarnya nggak ada orang, jadi aku agak tenang.

Setelah sampai, aku nggak ngomong, cuma santai aja menatap Jaja dan sekeliling. Beberapa saat kemudian, Jaja tiba-tiba bilang, “Aku mau kamu minta maaf!”

Aku langsung naik darah, “Minta maaf, minta maaf karena aku bilang kamu pelacur?”

“Kamu…” Jaja menatapku, wajahnya merah padam, kelihatan nggak baik-baik aja.

“Begini aja, aku bisa minta maaf, tapi kamu dulu yang harus minta maaf sama aku!” Aku menatap Jaja, perasaanku campur aduk, tapi lebih banyak marah.

“Aku nggak salah!” jawab Jaja dengan tegas.

“Oke, kamu nggak salah, mulutmu jahat banget, satu kata keluar, aku dan temen-temenku jadi nganggur, temenku masih harus bayar cicilan rumah, sekarang pacarnya kabur, kamu benar banget, kamu nggak salah, kamu itu malaikat, malaikat yang aku cintai!” Aku merasa marah banget.

“Tapi aku nggak salah!” Jaja tetap keras kepala.

“Kamu memang nggak salah, jadi aku bilang kamu pelacur juga nggak salah, kamu pelacur busuk!”

Setelah bilang itu, aku langsung berbalik, merasa nggak ada lagi yang bisa dibicarakan dengan dia.

Jaja teriak di belakang, ngatain aku brengsek, aku nggak peduli. Tapi semakin jauh aku jalan, semakin nggak enak rasanya, bagaimanapun, dia itu perempuan yang aku suka selama tiga tahun.

Perasaanku campur aduk, aku masuk ke bar, cari tempat duduk, pesan minuman, dan mulai minum sendirian.

Aku minum banyak, saat mulai merasa pusing, aku lihat ke arah lain, dan langsung lihat Jaja duduk di tempat yang nggak jauh.

Dia juga minum, minum sendirian.

Laki-laki minum sendirian di bar sih nggak masalah, tapi perempuan minum itu bisa jadi masalah. Saat dia minum, beberapa laki-laki di sekitarnya terus menatap dia, kadang-kadang senyum-senyum.

Aku tahu, laki-laki itu pasti nggak bener, tapi aku juga nggak mau urusin Jaja, kalau dia bisa keluar minum, harusnya dia tahu apa akibatnya kalau mabuk.

Aku tetap minum, setelah beberapa saat, aku lihat ada laki-laki yang duduk di sebelah Jaja, bicara sesuatu sama dia.

Perasaanku campur aduk, tapi aku tetap nggak ngapa-ngapain, angkat gelas dan minum lagi.

Setelah minum, aku lihat laki-laki itu bantu Jaja berdiri, dan ngasih isyarat ke temen-temennya, kayak rencana mereka berhasil.

Aku tertawa sinis dalam hati, ternyata Jaja kayak gitu ya, digoda sedikit langsung kena, sayang banget aku suka dia selama tiga tahun.

Perasaanku makin nggak enak, aku minum lagi.

Tapi tiba-tiba, Jaja seperti orang gila, tendang laki-laki itu di selangkangan.

Laki-laki itu langsung teriak kesakitan, pegang bagian bawahnya.

Beberapa laki-laki langsung mengerumuni, sambil bantu laki-laki yang ditendang, mereka mulai teriak, “Pelacur sok suci, kira kita nggak berani ngapa-ngapain kamu!”

“Ngomong apa sih, bunuh aja perempuan ini!” Laki-laki yang ditendang teriak.

Seketika, beberapa laki-laki langsung menyerang.

Jaja mabuk, jadi berani, dia ambil botol bir mau mukul, tapi tangannya ditangkap.

Laki-laki lain langsung mengendalikan Jaja.

Laki-laki yang ditendang berdiri, wajahnya marah dan sakit, dia jalan ke Jaja, dan tampar wajahnya.

Suara tamparan itu keras banget, wajah Jaja langsung ada bekas tangan.

“Cih!” Jaja meludah ke wajah laki-laki itu.

Laki-laki itu tambah marah, tampar Jaja lagi beberapa kali, jujur, aku merasa sakit lihatnya.

Orang-orang mulai berkumpul, laki-laki itu teriak, “Lihat apa, balik minum sana!”

Setelah itu, dia usap ludah di wajahnya, dan usapkan ke wajah Jaja, “Bawa pergi!”

Jaja terus melawan, teriak minta tolong, tapi orang-orang nggak mau ikut campur, nggak ada yang bantu.

Saat Jaja hampir dibawa keluar, dia melihat ke arahku, wajahnya penuh harap dan memohon, ada kesedihan dan rasa sakit yang bikin hati ini terasa perih.

Previous ChapterNext Chapter