




Bab 2
Pak Marno membawa Chandra Yuni ke depan kelas, mengetuk papan tulis, dan memberi isyarat agar semua siswa diam. Dia memperkenalkan, "Ini adalah Chandra Yuni, siswa pindahan dari SMAN 1 Jakarta. Selama dua tahun ke depan, kalian akan belajar bersama. Ingat untuk saling membantu, ya."
Hanya dengan menyebutkan "SMAN 1 Jakarta", sudah cukup untuk membuat semua siswa mendapatkan banyak informasi. Sebagai sekolah unggulan di kota, SMAN 1 Jakarta adalah sekolah swasta bergengsi dengan standar penerimaan yang sangat tinggi. Setiap tahun, banyak orang tua yang berusaha keras agar anak mereka bisa masuk ke sekolah ini.
Chandra Yuni, sebagai siswa pindahan yang langsung masuk ke kelas unggulan, membuat semua orang tidak bisa meremehkannya. Sebelumnya, siswa pindahan biasanya harus masuk kelas reguler terlebih dahulu, kemudian melalui berbagai tes seperti ujian bulanan dan ujian penempatan untuk bisa masuk ke kelas unggulan.
Seorang siswi bernama Indah berani mengangkat tangan, "Pak, siswa terbaik kelas satu di SMAN 1 Jakarta juga namanya Chandra Yuni... Apakah itu siswa baru kita ini?"
Mendengar ini, kelas langsung seperti terkena bom waktu. Semua orang, termasuk Pak Wira, tidak bisa tenang.
Pak Marno melihat reaksi semua orang dengan puas. Sebenarnya dia tidak ingin membicarakan prestasi Chandra Yuni, karena di SMA, ujian tidak pernah kekurangan. Cepat atau lambat, semua orang akan terkejut. Tapi karena ada yang bertanya, dia tidak keberatan menjelaskan lebih awal, "Benar. Prestasi Yuni sangat bagus. Di kelas satu, dia sudah ikut banyak kompetisi nasional dan meraih banyak prestasi. Kalau kalian ada masalah belajar, jangan ragu untuk bertanya padanya."
Pak Marno melihat sekeliling kelas. Hanya ada dua tempat kosong di barisan belakang. Salah satunya meja yang ada bukunya, itu tempat Siska yang sedang dihukum berdiri di luar. "Yuni, kamu duduk dulu di tempat kosong di belakang. Kalau ada masalah, bilang ke saya."
"Baiklah, Pak Wira, silakan lanjutkan pelajaran," kata Pak Marno sambil keluar kelas.
Chandra Yuni berjalan ke tempat duduknya. Buku-bukunya belum diambil dari ruang administrasi. Di meja sebelah, ada sebuah buku matematika terbuka di halaman kedua, dengan lipatan yang dalam. Melihat papan tulis, jelas pelajaran yang diajarkan bukan dari buku itu. Pemilik buku ini tampaknya terlalu malas untuk sekadar berpura-pura belajar.
Chandra Yuni melihat sekeliling kelas. Hanya tempat ini yang kosong, jadi pemilik buku itu pasti Siska yang di luar. Dia melihat ke luar jendela, samar-samar melihat setengah tubuhnya. Setelah berpikir sejenak, dia mengambil buku itu dan membukanya ke halaman yang sedang diajarkan.
Pelajaran segera berakhir.
Ketika Pak Wira mengumumkan akhir pelajaran, Siska mendengar dan masuk melalui pintu depan. Dia bertemu Pak Wira di jalan.
Pak Wira dengan angkuh memalingkan kepala dan mendengus, lalu keluar dengan marah.
Siska mengangkat bahu sedikit, lalu berjalan ke belakang kelas. Dia melihat tempat yang kosong hampir setahun sekarang ditempati seseorang.
Langkahnya berhenti sejenak, tapi dia tetap berjalan ke tempat duduknya dan mengeluarkan buku pelajaran berikutnya.
Tiba-tiba, ada tangan dengan tulang yang jelas dan sebuah buku di hadapannya. Siska terkejut menatap pemilik tangan itu.
Chandra Yuni mengangkat buku yang dipegangnya, "Maaf, buku saya belum diambil. Tadi saya ambil tanpa izin."
Siska dengan tenang menerima buku itu dan menggeleng, "Tidak apa-apa, saya juga tidak memakainya."
"Terima kasih," kata Chandra Yuni dengan senyum tipis. Memang, buku itu kosong sehingga terlihat mengesankan.