




Bab 2
Yani mengusulkan sebuah ide, "Ayo kita mendaki gunung!"
Budi dengan senang hati menyetujui.
Tidak jauh dari kampus, ada sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi. Di tengah hutan pinus yang sepi, mereka berdua saling berpelukan erat. Budi dengan penuh gairah mencium Yani, dan Yani pun membalas dengan semangat. Perlahan-lahan, Budi mulai meraba Yani. Sebelumnya, Yani selalu menjaga tempat itu seperti sebuah benteng, tidak pernah membiarkan Budi menyentuhnya. Namun hari ini, Yani dengan sukarela membiarkan Budi menyerang habis-habisan, dan akhirnya, Yani menyerah pada serangan terakhirnya.
Saat tertidur, Budi memeluk seorang gadis cantik, tetapi ketika terbangun, gadis itu sudah menghilang.
Yani meninggalkan sebuah surat.
Budi membaca, "Aku pergi!"
Untuk bisa pindah ke kota, aku telah menerima lamaran dari seseorang. Ayahnya adalah wakil walikota, dan dia menjanjikan pekerjaan yang bagus untukku. Dia sendiri juga sangat luar biasa. Mungkin bagi diriku, ini adalah pilihan yang baik.
Jangan mencaci aku sebagai orang yang dangkal, dan jangan menyalahkan aku karena tidak berperasaan. Salahkan saja takdir yang mempermainkan kita!
Hari ini, aku memberikan hal paling berharga milikku padamu, juga memberikan doa yang paling tulus untukmu!
Semoga kamu bisa mengingat kebaikanku, dan melupakan keburukanku!
Atau mungkin lebih baik lagi, lupakan saja aku!
Yani.
Setelah membaca surat itu, Budi mengira dirinya akan sangat sedih, tetapi ternyata hanya ada perasaan sedih yang samar. Mungkin karena dia sudah mempersiapkan diri secara mental, ditambah lagi dengan kegembiraan yang baru saja dialami. Kesenangan fisik bisa mengurangi sebagian rasa sakit emosional. Ini bisa dianggap sebagai semacam kompensasi!
Yani cukup jujur, dia sebenarnya bisa saja tidak memberitahu Budi tentang hal ini. Budi tahu bahwa Yani masih memiliki perasaan padanya, kalau tidak, Yani tidak akan memberikan keperawanannya kepada Budi.
Namun, jika benar ada perasaan, kenapa harus secepat itu berpindah ke pelukan orang lain? Apakah cinta itu begitu rapuh?
Saat turun gunung, pikirannya terasa sangat kacau, tidak tahu apakah dia mendapatkan Yani, atau kehilangan Yani. Namun, ada satu hal yang dia sadari dengan jelas, cinta pertamanya telah berakhir! Apa yang mengakhirinya? Kekuasaan!
Kekuasaan benar-benar sesuatu yang ajaib. Cinta yang agung begitu bertemu dengannya, langsung menjadi tidak berarti! Gadis yang anggun begitu bertemu dengannya, langsung menjadi dangkal!
Budi menyadari, untuk mendapatkan atau mempertahankan wanita cantik, dia harus memiliki kekuasaan. Mulai sekarang, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kekuasaan, hanya dengan cara itu, dia bisa mendapatkan dan mempertahankan wanita yang dia sukai.
Apa yang diambil oleh kekuasaan, hanya bisa direbut kembali dengan kekuasaan.
Pembaca yang terhormat, keinginan Budi untuk mendapatkan kekuasaan dipicu oleh seorang wanita yang meninggalkannya!
Engels pernah berkata, wanita adalah tuas yang mendorong kemajuan sejarah. Wanita yang lemah mendorong sejarah melalui siapa? Melalui pria! Di antara ribuan pria itu, ada satu yang bernama Budi.
Sejak saat itu, Budi memulai jalan mengejar kekuasaan!
Rumah Budi berada di Desa Sahlut, Kecamatan Cijang, sebuah desa terpencil. Keluarganya telah bertani selama beberapa generasi, tidak ada satu pun yang tercatat pernah menjadi pejabat. Meskipun Budi sudah menjadi guru negeri, tetapi jaraknya untuk menjadi pejabat masih sangat jauh. Budi tentu tahu bahwa jalan untuk mendapatkan kekuasaan tidak akan mulus, tetapi dia yakin bahwa di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Pangkat dan jabatan tidak ditentukan oleh keturunan, seorang pria harus berjuang sendiri. Tidak ada hal yang sulit di dunia ini, hanya orang yang tidak berkemauan yang membuatnya sulit.
Selama menunggu penempatan, dia membuat rencana hidup untuk dirinya sendiri.