Read with BonusRead with Bonus

Bab 2

"Reni, jangan lihat sembarangan, ya. Aku kasih tahu, di kota ini ada penculik anak, kalau kamu nggak nempel sama aku, bisa-bisa kamu diculik dan nggak bisa pulang lagi," kata ibu angkatku menakut-nakuti.

Aku jadi takut dan langsung berlindung di pelukan Kak Chandra, membuat kakakku tertawa terbahak-bahak.

"Ayah, kita mau ke mana?" tanya Kak Chandra.

"Kita ke Jembatan Layang. Dengar-dengar Jembatan Layang di Jakarta itu ramai, tempat orang-orang seperti kita mencari nafkah," jawab ayah angkatku.

Aku tidak tahu seperti apa Jembatan Layang itu, belum pernah dengar sebelumnya.

Ketika kereta kuda kami sampai di Jembatan Layang, barulah aku tahu, tempat itu memang penuh dengan berbagai macam orang. Ada yang mengamen, menjual obat kuat, memutar film layar tancap, tukang cukur, macam-macam deh.

Tentu saja, banyak juga yang mengamen. Aku melihat seorang anak perempuan dengan rambut dikepang berdiri di pinggir jalan menyanyi, menyanyikan lagu "Empat Musim Bunga Bermekaran di Kota."

Aku tertawa sendiri, ini kan musim dingin, harusnya menyanyi tentang salju yang turun, bukan bunga yang bermekaran.

"Reni, kamu ketawa apa? Lihat apa sih yang aneh?" tanya Kak Chandra.

"Aku lihat orang yang memutar layar tancap itu, lucu banget, ada orang yang nggak tahu lagi ngintip apa, yang satu lagi di sampingnya sambil nyanyi," jawabku sambil tertawa.

"Kamu lihat yang jual obat kuat itu lebih lucu lagi, di musim dingin begini dia bertelanjang dada, nggak takut mati kedinginan," Kak Chandra juga tertawa sambil menutup mulutnya.

"Cukup, kalian berdua jangan ketawa terus, cari tempat yang terlindung dari angin buat istirahat sebentar," kata ibu angkatku.

Abang yang mengendarai kereta kuda menghentikan kereta di pinggir jalan, di bawah sebuah gubuk jerami besar, ada yang menjual bakpao dan teh dalam mangkuk besar.

Aku sudah lapar, mataku terpaku pada bapak gemuk yang membuka tutup panci besar, di dalamnya ada bakpao panas yang mengepul, satu per satu gemuk dan menggiurkan.

"Kak, aku lapar, mau makan bakpao," kataku pada Kak Chandra.

"Kamu ini, banyak orang di sini, kamu masih mau makan bakpao? Kamu tahu nggak berapa harga satu bakpao putih itu? Kita mana mampu beli? Di tas ini masih ada kue jagung, kita semua minum teh dalam mangkuk besar, sudah cukup hangat," kata ibu angkatku.

Aku tidak berani bicara lagi, hanya melihat bakpao panas itu sambil menelan ludah.

Ibu angkat dan yang lainnya turun dari kereta kuda dan duduk di gubuk jerami.

"Mas, enam mangkuk teh besar, ya," kata ayah angkatku.

"Siap, Mas!" pelayan itu menjawab dengan ramah, membawa enam mangkuk besar dari porselen kasar, dan sebuah teko besar dengan cerat tembaga, menuangkan teh ke dalam enam mangkuk. Aku melihat teh itu, tidak ada daun teh di dalamnya, tapi warnanya sangat pekat.

"Reni, cepat minum. Makanlah sedikit makanan kering," kata ibu angkatku sambil memberikan sepotong kue jagung padaku.

Aku sangat lapar dan haus, segera minum beberapa teguk teh, teh hangat itu membuat tubuhku terasa lebih hangat. Tapi karena teh pekat itu, perutku malah semakin lapar. Kue jagung jelas tidak seenak bakpao panas yang baru keluar dari panci, tapi karena sangat lapar, aku tidak peduli lagi, langsung menggigit kue jagung itu.

"Lihat tuh, kamu makan buru-buru banget, pelan-pelan dong," kata Kak Chandra cemas.

Aku tersedak sepotong kue keras, sampai terbatuk-batuk.

"Minum air cepat," kata Kak Chandra sambil menyerahkan mangkuk teh padaku.

Aku segera minum satu teguk besar, akhirnya bisa menelan.

"Chandra, kenapa kamu nggak minum? Cepat minum, biar nggak kedinginan," kata ibu angkat sambil mengelus rambut Kak Chandra dengan penuh kasih sayang.

Kak Chandra minum seteguk teh, melihat kue jagung keras itu, tidak bicara, tiba-tiba berdiri.

Kak Chandra berjalan ke arah panci bakpao, melihat sebentar.

"Berapa harga satu bakpao ini?"

"Satu koin besar dapat dua," jawab pelayan.

Mendengar itu, Kak Chandra membuka kancing paling bawah dari jaketnya, memasukkan tangan ke dalam baju dalamnya, mencari-cari sebentar, lalu mengeluarkan sebuah koin besar dari tembaga.

Previous ChapterNext Chapter