




Bab 2
Untuk memancing emosi Tante Rani, istriku bahkan meremas tangan ke antara kedua kakinya.
Sebuah desahan menggoda keluar dari mulutnya.
"Lihat deh, Tante sudah sampai segitunya!"
Ketika aku berpikir Tante Rani akan langsung setuju, dia malah berkata dengan cemas, "Mendingan jangan deh! Aku kan dianggap sebagai orang tua bagi Rangga, kalau orang lain tahu..."
"Yang tahu cuma kita bertiga, pintu kamar ditutup, siapa yang bisa tahu apa yang terjadi di dalam? Lagipula, Tante juga bilang, hubungan Tante dengan Rangga cuma di atas kertas aja!"
Jari-jari istriku terus bergerak di antara kaki Tante Rani, bahkan sudah melewati kain kecil itu, masuk ke area yang basah.
"Nis, jangan, jangan gituin Tante, Tante nggak tahan!" Suara Tante Rani semakin keras, tubuh putihnya mulai memerah.
"Tante udah berapa tahun nggak dipuaskan? Sebagai yang lebih muda, kita harus menghormati Tante. Aku sekarang panggil Rangga masuk, ya!"
Tapi Tante Rani masih belum bisa menerima secara mental: "Nggak bisa! Nggak bisa! Ini terlalu gila!"
"Nis, jujur aja deh, Tante punya pacar, dan kali ini..."
"Terus kenapa? Lagian udah sampai sini, biar Rangga bantuin Tante aja!"
Melihat dari celah pintu, aku merasa sangat kecewa membayangkan malam ini mungkin nggak bisa bersama Tante Rani yang luar biasa ini.
"Aduh, nggak seperti yang kamu pikir, aku juga nggak tahu gimana bilangnya!" Tante Rani tampak ragu.
Katanya, wanita umur tiga puluh seperti serigala, empat puluh seperti harimau.
Tante Rani yang berumur sekitar 40 tahun, kebutuhannya tentu lebih besar dan lebih intens.
Kata-kata dan gerakan tangan istriku, ditambah hubungan terlarang yang samar-samar itu, membuat Tante Rani semakin berani.
Setelah ragu sejenak, dia bertanya, "Kamu bener udah ngomong sama Rangga? Dia nggak bakal nganggap aku... tua?"
"Mana mungkin dia nganggap Tante tua, kalau dia berani nganggap Tante tua, aku cerai sama dia!"
"Tapi jangan bilang ke siapa-siapa! Kalau sampai tersebar, di lingkungan ini, aku mau taruh muka di mana!" Akhirnya, Tante Rani setuju.
Aku begitu bersemangat sampai rasanya seperti ada tongkat besi di bawah, ingin langsung masuk dan menggempur Tante Rani.
"Tenang, nggak akan ada yang tahu!"
Sambil bicara, istriku mengeluarkan ponsel, "Aku panggil Rangga masuk sekarang!"
"Um!" Tante Rani menutup wajahnya yang merah, mengeluarkan suara seperti bisikan nyamuk.
Ini pertama kalinya aku melihat Tante Rani dalam posisi seperti ini.
Sebagai seorang dokter, di depan orang lain, Tante Rani selalu tampil anggun dan klasik.
Siapa yang bisa menyangka, saat ini dia sedang tengkurap di ranjang, menunggingkan pantatnya yang menggoda, memperlihatkan bagian paling rahasia dan malu-malu dari tubuhnya kepada kami yang lebih muda!
Aku sangat bersemangat!
Membayangkan sebentar lagi bisa bersama Tante Rani yang sudah lama kuinginkan, bagian bawahku mencapai kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pesan dari istriku juga sampai di ponselku saat itu.
Sekarang urusan dengan Tante Rani sudah pasti, aku malah nggak terlalu terburu-buru.
Aku menunggu di depan pintu.
Saat itu, Tante Rani yang menungging malah ingin menutup dirinya dengan selimut.
Istriku tentu saja nggak membiarkannya, melemparkan selimut ke samping.
"Lagian nanti Rangga bakal datang buat Tante, ngapain pakai selimut segala!"
Tante Rani menutup pipinya yang panas, "Kamu, kamu ngomong apa ke Rangga?"
"Aku bilang, Tante Rani lagi pengen banget di ranjang, minta dihajar habis-habisan!"
"Kamu ini, kok ngomong gitu ke keponakanmu!"
"Tante, aku bercanda kok!"
"Kamu... kamu bener-bener!"
Sambil bicara, istriku menarik kain renda yang menutupi dada Tante Rani, sepasang payudara besar yang putih langsung melompat keluar, bergetar sedikit di udara.
Tante Rani tersenyum kecil, tidak lagi menutupi dirinya, membiarkan payudara itu terus bergoyang.
Penampilan menggoda dan tubuh putih yang masih mempesona itu terus menggoda sarafku yang rapuh.
Aku nggak ingin menunggu lagi.
Aku langsung mendorong pintu kamar terbuka.