Read with BonusRead with Bonus

Bab 1

Matahari di Kota Matahari memang luar biasa teriknya. Sudah akhir Oktober, tapi sinar matahari masih membuat permukaan tanah mengeluarkan asap tipis. Lihat saja, para siswa yang duduk di dalam kelas masing-masing memegang buku tugas lebar dan terus mengipasi diri mereka. Karena cuaca yang panas, guru pun tidak melarang mereka.

Wang Ping yang duduk di baris ketiga juga sama seperti yang lain, terus mengipasi diri untuk mencoba menurunkan sedikit suhu tubuhnya. Ini adalah pelajaran matematika mandiri, ada sepuluh soal kecil yang harus diselesaikan. Guru sudah mengatakan, siapa saja yang bisa menyelesaikan sepuluh soal ini dan menyerahkan bukunya kepada guru, boleh pulang lebih awal.

Wang Ping dengan cepat menyelesaikan delapan soal pertama, walaupun dia tidak yakin apakah jawabannya benar. Dua soal terakhir tidak bisa dia kerjakan, jadi dia menulis sembarangan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, dia sudah menyerahkan tugasnya. Dia adalah yang pertama keluar dari kelas. Saat keluar, dia merasa banyak mata yang menatapnya dengan heran. Wang Ping tidak berniat mencari perhatian, dia hanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah, membuka keran air besar-besar, dan mandi air dingin untuk menyegarkan diri.

Sampai di rumah, Wang Ping melihat tidak ada tas di meja ruang tamu, jadi dia yakin adiknya belum pulang. Biasanya, adiknya selalu pulang lebih dulu. Tapi kali ini, karena dia pulang lebih awal dua puluh menit, dia mendahului adiknya.

Wang Ping meletakkan tasnya di meja, lalu melepaskan kemeja lengan pendeknya. Saat dia bersiap-siap melepas celana panjangnya, dia mendengar suara dari kamar ibunya. Dia berjalan ke pintu kamar ibunya yang tidak tertutup rapat, meninggalkan celah kecil. Dari celah itu, dia melihat ibunya berdiri tanpa busana di depan tempat tidur, sedang berganti pakaian.

Tempat tidur ibunya diletakkan sejajar dengan pintu, dan ibunya berdiri di samping tempat tidur. Wang Ping hanya bisa melihat sisi kanan ibunya. Di meja rias di dekat tempat tidur, ada cermin yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memantulkan bayangan sisi kiri ibunya. Dari depan dan belakang, tubuh ibunya tampak melengkung indah, dengan bokong yang montok dan payudara besar yang kencang.

Wang Ping merasakan gelombang listrik mengalir ke seluruh tubuhnya, dan alat kelaminnya segera membesar dan menegang. Takut ibunya mengetahui, dia buru-buru kembali ke meja dan berpura-pura mengerjakan tugas. Entah mengapa, dua soal sulit yang tadi tidak bisa dia kerjakan di kelas, tiba-tiba saja muncul ide untuk menyelesaikannya, tapi dia tidak ingin mengerjakannya sekarang.

Di meja, pikirannya melayang ke payudara ibunya, bokong ibunya, dan lekuk tubuh ibunya yang indah. Tanpa sadar, dia menggambar sketsa wanita telanjang yang mirip dengan ibunya di atas kertas coretan.

Ibu Wang Ping bernama Quan Hong, berusia tiga puluh tiga tahun, bekerja di sebuah institut desain teknik. Sampai usia sepuluh tahun, Wang Ping selalu tidur sekamar dengan ibunya, bahkan satu ranjang. Saat itu, mereka tidur tanpa busana, karena itu kebiasaan ibunya. Ibunya selalu memeluknya saat tidur, dan payudara besar ibunya selalu menjadi mainannya. Ayahnya sudah meninggal saat itu.

Ayahnya meninggal ketika dia baru berusia lima tahun, dan adiknya baru empat tahun, belum masuk sekolah dasar, dan tidak mengerti apa-apa tentang hubungan pria dan wanita. Saat itu, memegang payudara ibunya hanya dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan. Dia ingat tempat tidur mereka diletakkan menempel ke dinding. Dia selalu tidur di sisi dalam, ibunya di tengah, dan adiknya di sisi luar. Kadang-kadang adiknya ingin tidur di sisi dalam, tapi adiknya tidak pernah menang melawan dia.

Previous ChapterNext Chapter