




Bab 4
"Oi, Yudi, jangan terlalu keras ya, nanti kalau sampai terluka kita harus bayar ganti rugi," ledek Pak Zain sambil menyalakan sebatang rokok lagi. Asapnya mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma manis yang menusuk. Lin meremas kedua tangannya erat-erat, kuku-kukunya sampai menancap ke telapak tangan. Rasa sakit dan lelahnya tak terkatakan, tapi dia tak berani tidur, takut mendapat hukuman yang lebih berat.
Mendengar ucapan Pak Zain, Yudi tersenyum, "Pak Zain sering nemu orang kayak gini ya?"
Dia menekan belakang kepala Lin, memaksa mulut kecil itu menerima dengan kasar. Rasa sesak yang kuat membuat tenggorokan Lin semakin tegang. Yudi akhirnya mencapai klimaks, melepaskan semuanya di dalam mulut Lin. Setelah itu, dia menarik keluar alat kelaminnya dan melepaskan cengkeramannya dari kepala Lin.
Lin terjatuh di lantai, matanya terpaku pada lantai tanpa berkedip. Sudut bibirnya terluka, langsung membengkak merah. Dia tampak begitu menyedihkan dan menggemaskan. Setelah terlepas dari Alpha, seolah tahu bahwa dia tak akan mendapatkan sedikit pun feromon untuk meredakan hasratnya, aroma melati di ruangan itu perlahan-lahan menghilang, tapi baunya tetap bertahan lama.
Pak Zain mendekat sambil menjepit rokok di tangannya, menepuk abu rokok ke pundak Lin yang seputih pualam. Dia menendang Lin, membuat Lin jatuh dengan bahunya menempel di lantai dan pantatnya terangkat tinggi, memudahkan gerakan selanjutnya.
Bagian belakang Lin yang sudah terlalu sering digunakan, kini memerah dan bengkak. Mungkin sudah mati rasa, ketika Pak Zain kembali memasukinya, Lin tak menunjukkan banyak ekspresi kesakitan. Yudi di sampingnya membersihkan alat kelaminnya dengan tisu, lalu melihat Lin perlahan mengedipkan matanya.
Dia berpikir, apakah Lin benar-benar tidak mengenalinya? Apakah ada dua orang di dunia ini yang memiliki wajah, nama, dan bahkan aroma feromon yang sama persis? Dia bertanya pada dirinya sendiri dan menjawab, tentu saja tidak.
Jadi kenapa Lin tidak mengenalinya? Yudi mendekat, menarik rambut Lin memaksanya menengadah. Dia memperhatikan wajah cantik itu dengan seksama, mata yang berkilau seperti kaca, dan melihat tanda kecil di lekukan tulang selangka Lin. Dia tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Namanya siapa?"
Pak Zain yang perutnya buncit menjawab, "Lin, sudah tiga tahun di sini, sangat terkenal."
Jawaban itu menguatkan dugaan Yudi. Dia menghela napas berat, lalu menarik rambut Lin dengan keras sambil mengejek, "Pak Zain pernah coba asfiksia erotik?"
Mendengar itu, Pak Zain langsung tertarik, "Nggak nyangka kamu mainnya ekstrim juga ya? Gue sih mau, tapi nggak pernah ada kesempatan."
Yudi tersenyum licik, membungkus leher Lin dengan kain hitam yang dipegangnya. Dia dengan dingin mengusap jakun Lin, "Biar Pak Zain puas-puas."
Kata-kata Yudi dan kain yang melilit lehernya membuat Lin seketika sadar. Dia perlahan membuka matanya, berusaha melihat orang di depannya, tapi semuanya hanya bayangan buram. Seketika Lin merasa sakit di hatinya, tapi dia tak tahu kenapa.
Dulu juga pernah disiksa, tapi hanya tubuhnya yang sakit, tak pernah sampai membuat jantungnya berdebar. Mungkin karena Lin tiba-tiba bereaksi, Pak Zain merasa dirinya bukan sedang memperkosa mayat, dia tertawa, "Gue udah ngentot dia berjam-jam, kayak ikan mati. Kamu emang jago."
Yudi hanya tersenyum sinis, tak berkata apa-apa. Dia menarik kedua ujung kain itu semakin kencang. Dia melihat bibir Lin terbuka sedikit, darah mengalir ke bagian atas lehernya. Tatapan Lin tak menunjukkan ketakutan, tak ada rasa takut, juga tak ada kelemahan atau permohonan. Ini bukan ekspresi yang seharusnya dimiliki seorang Omega dalam situasi seperti ini.