




Bab 2
Melihat dia turun ke bawah, Bu Yuni segera memanggil, "Ayo makan, Rian."
Pak Zaki yang berada di sampingnya mendengus, "Tidur sampai matahari tinggi baru bangun, kenapa nggak sekalian tidur sampai besok pagi aja?"
Pak Zaki memang selalu keras terhadap anaknya ini, dan sikapnya selalu dingin. Setiap kali mereka bertemu, pasti berakhir dengan pertengkaran.
Bagaimanapun, Rian juga bukan tipe anak yang patuh.
Rian dalam hati menggerutu, "Kenapa? Aku tidur berapa lama juga urusannya sama kamu?"
Pak Zaki marah mendengar ucapannya, langsung memukul meja dengan sumpit di tangannya, "Anak kurang ajar, begitu caramu bicara sama bapakmu?"
Rian sama sekali tidak peduli dengan bapaknya yang satu ini, langsung menjawab, "Aku nggak punya bapak. Waktu umur delapan tahun, saat ibuku meninggal, bapakku juga ikut mati."
Pak Zaki marah sampai tidak bisa berkata-kata, makan pun tidak bisa. Dia menunjuk Rian dengan tangan gemetar.
Bu Yuni buru-buru berdiri untuk menenangkan suasana. Dia tahu betul dua orang ini tidak bisa bertemu tanpa bertengkar. Dia menepuk tangan Pak Zaki, lalu menoleh ke Rian, menggeleng pelan, "Rian, jangan begitu. Kamu baru bangun pasti lapar, duduk dulu makan, ya?"
Rian melihat ke arahnya, lalu mengalihkan pandangan dari leher lembutnya, "Nggak usah urusin aku."
Bu Yuni merasa sedih dan memalingkan wajah. Sejak Rian dewasa, dia semakin menjauh darinya, padahal dulu dia selalu menganggap Rian seperti anaknya sendiri. Dia tahu Rian sebenarnya juga menyukainya sebagai ibu tiri, tapi...
Apakah ada yang salah dengan sikapku? Mata Bu Yuni mulai memerah.
Pak Zaki yang masih marah hendak memarahi Rian lagi, tapi Bu Yuni segera menarik tangannya, "Pak Zaki, sudahlah, jangan marah. Rian kemarin capek perjalanan jauh, pasti dia lelah jadi suasana hatinya buruk. Jangan permasalahkan itu. Lagipula, kamu kan harus pergi dinas hari ini, waktunya sudah mepet, jangan sampai terlambat."
Pak Zaki menghela napas berat, menatap anaknya dengan penuh amarah, lalu pergi dengan membanting pintu.
Huh, selalu saja begitu, Rian menggerutu dalam hati.
Suasana menjadi sangat sunyi dan menegangkan. Bu Yuni mencoba bertanya, "Rian, bubur masih hangat di panci, boleh Ibu ambilkan semangkuk untukmu?"
Ibu tiriku memang baik, Rian sadar, "Boleh."
Melihat Rian setuju, Bu Yuni merasa sedikit senang. Dia berdiri dan berjalan ke dapur, tanpa menyadari bahwa Rian sedang mengamati tubuhnya dari atas ke bawah.
Gaun yang dikenakan Bu Yuni panjangnya tepat sampai betis, saat dia berjalan, betisnya yang halus dan ramping terlihat samar-samar.
Dalam benak Rian, tiba-tiba terlintas pemandangan yang dilihatnya tadi malam, kaki indah wanita itu melingkari pinggang pria.
Kalau kaki itu melingkari tubuhku, pasti rasanya enak, ya?
Rian menjilat bibirnya yang kering.
Saat dia sedang berkhayal, Bu Yuni sudah keluar membawa semangkuk bubur, membungkuk sedikit, dan meletakkan bubur di depan Rian.
Dari sudut pandang Rian, saat Bu Yuni membungkuk, terlihat jelas belahan dadanya yang menggoda.
Suara Bu Yuni terdengar, "Rian, coba lihat bagaimana rasanya?"
"Kelihatannya enak." Rian berkata begitu, tapi pandangannya tidak lepas dari tubuh wanita di depannya.
Belahan dada wanita itu membuatnya ingin membuka baju dan melihat lebih jauh.